DASAR TEORI
1. Pengertian Reklamasi
Penambangan dapat mengubah lingkungan fisik, kimia, dan biologi seperti
bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran air, debu, getaran, pola
vegetasi ,habitat fauna, dan sebagainya.
Perubahan-perubahan seperti ini harus segera dikelola untuk menghindari
kerusakan permanen lingkungan hidup. Oleh karena itu, setiap usaha penambangan
harus melakukan usaha pemulihan lingkungan sesudah kegiatan penambangan, yang
biasa disebut reklamasi.
Reklamasi dalam usaha pertambangan adalah upaya memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat
berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Sedangkan pengertian lain reklamasi dalam bidang pertambangan adalah setiap
pekerjaaan dalam upaya untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup di bekas
daerah tambang menjadi daerah yang berdaya guna. (“Kamus Pertambangan Umum”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Mineral.)
Kegiatan penambangan batubara ini akan mengakibatkan
suatu dampak langsung maupun tidak langsung, dampak positif ataupun dampak
negatif terhadap lingkungan disekitar lokasi penambangan tersebut. Segi positifnya biasanya memperoleh nilai (manfaat) sebaliknya dampak yang
negatif dapat merugikan lingkungan itu. Dampak tersebut baik itu abiotik atau
fisik (tanah, air dan udara), pengaruh biotik (flora dan fauna), serta pengaruh
ekonomi dan sosial budaya. Untuk mengatasi dampak lingkungan tersebut terutama
dampak negatif, sebelumnya perlu dilakukan penelitian, lalu digunakan sebagai pedoman atau acuan untuk menangani dampak ligkungan tersebut.
Dampak negatif yang dapat terjadi akibat aktivitas penambangan pada
tambang terbuka antara lain :
a.
Rusak atau terganggunya lapisan kerak/kulit bumi. Hal ini disebabkan oleh
kegiatan penggalian lapisan yang menutupi endapan bahan galian.
b.
Hilangnya kesuburan tanah.
c.
Rusak atau terganggunya sistem aliran air alami, baik aliran permukaan maupun
bawah permukaan. Hal ini bila dibiarkan dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan
lingkungan lebih jauh lagi, seperti : longsoran, genangan/luapan air
permukaan, pencemaran dan lain sebagainya.
d.
Terganggunya ekosistem yang ada disekitar tambang.
Dampak negatif seperti yang tersebut di atas dapat ditanggulangi dengan
segera merencanakan kegiatan pemulihan atau rehabilitasi lahan dan koservasi
tanah yaitu usaha memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan kondisi lahan
agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media
pengatur tata air, maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.
2.
Perencanaan Reklamasi
Reklamasi dapat ditempuh dengan melalui berbagai tahapan. Dimulai dengan
pengaturan bentuk muka lahan dan standar lereng lahan rehabilitasi, pengaturan
tanah pucuk, pengendalian erosi, pembangunan drainase, pembangunan jalan
vegetasi, penghijauan, pemeliharaan tanaman, dan pemantauan pertumbuhan
tanaman.
Perencanaan reklamasi dibuat dengan tujuan agar proses kegiatan reklamasi
dapat berjalan sesuai dengan rencana serta meningkatkan persentase tingkat
keberhasilan reklamasi.
III.2.1. Pengaturan/Pembentukan Lahan Untuk Rehabilitasi
Daerah yang mineral bahan galiannya telah diambil masih berbentuk tidak
teratur untuk itu diperlukan penataan lahan yang bertujuaan untuk :
1.
Untuk memperoleh permukaan akhir yang stabil dan mempunyai bentuk alami
sehingga serasi dengan bentuk bentang alam yang masih asli
2.
Untuk mendukung keberhasilan pertumbuhan tanaman
3.
Untuk memudahkan akses pekerjaan selanjutnya ke seluruh areal
4.
Untuk meningkatkan nilai estetika lahan
Pekerjaan –
pekerjaan dalam pembentukan lahan untuk rehabilitasi meliputi :
1.
Perataan Lahan
Permukaan lahan pada lokasi purna yang merupakan target penghijauan bisanya
banyak terdapat timbunan-timbunan yang tidak teratur disertai dengan
cebakan-cebakan air yang tidak beraturan pula, hal ini dapat menghambat
pertumbuhan tanaman disamping menyulitkan aktivitas pekerjaan.
Seluruh timbunan yang tidak beraturan dirapikan dan diratakan,
cebakan-cebakan yang berpotensi membentuk genangan air ditimbun dengan material
hasil dorongan dari timbunan yang diratakan. Dalam melakukan perataan
harus dihindari pendorongan yang berulang-ulang karena dapat menyebabkan
pemadatan tanah yang berlebih.
2.
Penimbunan Batu-Batuan
Pada areal disposal (tempat pembuangan tanah penutup) seringkali terdapat
bebatuan yang tidak beraturan. Bebatuan ini
sangat menganggu kelancaran operasional pekerjaan penghijauan, menimbulkan
kesan kegersangan disamping merusak nilai estetika lahan.
Semua bebatuan yang muncul dipermukaan lahan dikumpulkan pada
lubang/cekungan lahan yang ada dan ditimbun dengan tanah minimal setebal 1
m. Jika tidak terdapat lubang atau cekungan, bebatuan yang berserakan
tersebut dapat dikumpulkan pada suatu tempat dan digalikan lubang, setelah itu
bebatuan tersebut dimasukkan pada lubang tersebut dan ditimbun sedalam 1
m dari permukaan lahan.
3. Pembersihan
Sisa-sisa Potongan Batang Pohon
Sisa pohon hasil proses treecuting dipisahkan atau ditimbun agar
tidak menghalangi proses operasional reklamasi. Pembersihan dimulai dari
memisahkan batang pohon yang besar dengan menggunakan alat berat, batang pohon
yang kecil dapat langsung ditimbun dengan material overburden.
4.
Pembentukan Lereng/Pembentukan Kontur.
Pada tempat penimbunan tanah penutup (disposal) yang telah
ditinggalkan terdapat timbunan-timbunan yang membentuk lereng yang terkadang
tidak stabil, sehingga lokasi-lokasi tersebut menyulitkan kegiatan penanaman
dan sangat memungkinkan terjadinya tanah longsor. Selain itu lereng
tempat tanah penimbunan ini sangat mudah tererosi, sehingga menyebabkan
pencucian nutrisi dan sedimentasi yang serius yang akhirnya akan mendorong
gagalnya revegetasi, pengotoran dan pendangkalan daerah perairan. Disamping itu
juga sangat berbahaya bagi keselamatan pekerja untuk bekerja pada kondisi
lereng yang tidak stabil. Pembentukan lereng dibedakan menjadi :
A.
Pembentukan Lereng Pada Timbunan Tanah Penutup
Pembentukan
lereng bukit harus diarahkan untuk terciptanya bentuk akhir yang semaksimal
mungkin mengurangi laju erosi, stabil, memudahkan pekerjaan penanaman dan
mendukung pertumbuhan vegetasi. Pada lereng-lereng yang curam dilakukan
pengurangan kemiringan lahan dengan pemotongan bagian puncak lereng dan
menimbunkannya pada bagian kaki lereng (cut and fill). Secara
garis besar spesifikasi pembentukan lereng pada areal penimbunan tanah penutup
adalah sebagai berikut:
TABEL III.1
SPESIFIKASI
KONSTRUKSI TIMBUNAN TANAH PENUTUP
Parameter
|
Spesifikasi
|
Sudut
kemiringan akhir
|
3 : 1 atau
lebih landai
|
Panjang
lereng individu maksimum
|
80 m
|
Bentuk
lereng
|
Cekung dan
atau kompleks
|
Permukaan
lereng
|
Kasar
|
Hasil akhir dari pembentukan lereng adalah akan mengikuti bentuk alami yang
selaras dengan topografi daerah sekitarnya, gambar spesifikasi teknis
pembentukan lereng ini dapat dilihat pada gambar berikut.
B. Puncak Batuan Dasar (Bed rock)
Pada sebagian daerah purna tambang yang berupa bukit-bukit berbatu
dikarenakan bentuk topografinya terkadang tidak bisa ditimbun seluruhnya
sehingga memiliki kemiringan yang sangat curam dan menyebabkan daerah tersebut
tidak memungkinkan untuk ditanami. Agar daerah ini bisa direhabilitasi maka
areal-areal ini harus ditata ulang terlebih dahulu
Daerah-daerah berbatu walaupun
mempunyai kemiringan yang curam, pada umumnya daerah tersebut stabil, karena
merupakan batuan, sehingga tidak berpotensi tererosi atau longsor. Pembentukan
lereng ditujukan untuk memungkinkan orang bekerja dengan aman pada lereng
tersebut, membuat akses jalan, dan penebaran tanah pucuk (topsoil)
sehingga memungkinkan tumbuhan/vegetasi untuk tumbuh dengan baik.
Spesifikasinya adalah sebagai berikut:
TABEL .2
SPESIFIKASI
KONSTRUKSI PUNCAK BATU
Parameter
|
Spesifikasi
|
Sudut
kemiringan maksimum
|
1 : 1.5
|
Panjang
lereng individu maksimum
|
20 m
|
Lebar
bench setiap lereng
|
6 m, miring ke dalam
|
Bentuk
lereng
|
Seragam
|
Permukaan
lereng
|
Kasar
|
C.
Lereng Balik/Back Slope
Lereng-lereng dengan panjang lebih dari 100 m akan sangat rawan erosi
sehingga akan menimbulkan masalah sedimentasi dan menjadi faktor pembatas bagi
kesuksesan revegetasi, oleh karenanya perlu dibuat suatu struktur yang bisa
meminimalkan dampak negative tersebut.
Untuk menanggulangi dampak negatif dari lereng-lereng panjang tersebut
adalah dengan membuat struktur lereng balik (back slope) pada
setiap interval 80 m – 100 m panjang lereng, lebar lereng balik ini adalah
minimal 5 m – 6 m dengan kemiringan 5% ke arah dalam dinding lereng dan arah
kemiringan bench adalah 4% untuk mengalirkan air yang terkumpul. Spesifikasi
teknis untuk pekerjaan ini dapat dilihat pada gambar berikut.
2.2
Pembuatan Akses Jalan
Setelah penataan/pembentukan lahan, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan
akses jalan yang akan digunakan untuk pengangkutan tanah pucuk, jalur
transportasi kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pemantauan. Untuk
kemudahan akses maka jalan dibuat semaksimal mungkin dengan interval setiap 100
m, dengan lebar 5 m – 6 m dan tebal pembatuan ± 0.5 m sehingga mampu menopang
beban 30 ton, gradient jalan maksimal 10%. Pada daerah lereng akses jalan
dibuat pada lereng-lereng balik, sehingga selain berfungsi untuk penahan erosi
juga berfungsi untuk akses jalan.
2.3 Pembuatan Saluran Air/Drainase
Saluran air (drainase) sangat penting untuk mengarahkan dan
mengendalikan air limpasan permukaan (Run Off) untuk mendukung
keberhasilan usaha reklamasi di PT. Firman Ketaun, mengingat curah hujan yang mencapai 239,13 mm/bulan. Run
Off ini jika tidak dikendalikan dan diarahkan bisa menyebabkan terjadinya
erosi alur dan parit yang cukup parah, sehingga banyak tanaman pada jalur erosi
tersebut yang gagal tumbuh.
Drainase dibuat berdasarkan topografi
akhir setelah penataan lahan, umumnya bentuk drainase mengikuti kaki
lereng sehingga terbentuk saluran air yang berkelok-kelok mengikuti kaki lereng
dan tampak alami, selain juga mengurangi laju aliran air.
Untuk mengurangi kecepatan air yang pada akhirnya mengurangi daya erosinya
maka dibuat saluran jenjang dan cekdam. Selain untuk mengurangi kecepatan
aliran air dan mengurangi daya erosinya, cekdam juga berfungsi sebagai tempat
mengendapnya sediment yang terbawa oleh aliran air.
Dalam
perencanaan drainase tambang, terdapat beberapa faktor yang mepengaruhi dan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.
Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)
Pengertian
daerah tangkapan hujan adalah daerah yang diperkirakan berpotensi untuk
mengalirkan air limpasan menuju suatu daerah kerja, dengan kata lain curah
hujan yang jatuh dalam daerah tersebut dapat berkumpul dalam satu tempat
terendah dari daerah tersebut. Penentuan daerah tangkapan hujan didasarkan pada
peta topografi daerah yang akan diteliti, daerah tangkapan hujan dibatasi oleh
punggungan bukit. Setelah ditentukan maka diukur luasnya. Luas daerah tangkapan
hujan diukur dengan menggunakan program Surfer pada komputer
2.
Curah Hujan
Curah hujan
adalah banyaknya air hujan yang jatuh ke bumi persatu satuan luas permukaan
pada suatu jangka waktu tertentu. Curah hujan merupakan salah satu faktor
penting dalam perencanaan suatu sistem drainase, karena besar kecilnya
curah hujan akan mempengaruhi besar kecilnya air limpasan. Besar kecilnya curah
hujan dapat dinyatakan sebagai volume air hujan yang jatuh pada suatu areal
tertentu dalam jangka waktu relatif lama, oleh karena itu besarnya curah hujan
dapat dinyatakan dalam m3/satuan luas, secara umum dinyatakan dalam
tinggi air (mm). Curah hujan 10 mm berarti tinggi hujan yang jatuh pada areal
seluas 1 m2 adalah 10 liter. Angka-angka curah hujan yang diperoleh
sebelum diterapkan dalam rencana pengendalian air permukaan harus diolah
terlebih dahulu. Data curah hujan yang akan dianalisis adalah Curah hujan
harian maksimum dalam satu tahun selama 10 sampai 20 tahun, dinyatakan dalam
mm/24 jam. Analisis data curah hujan meliputi :
A. Periode Ulang Hujan (PUH)
Periode ulang hujan adalah hujan maksimum yang
diharapkan terjadi pada setiap n tahun. Jika suatu data curah hujan mencapai
harga tertentu (x) yang diperkirakan terjadi satu kali dalam n tahun, maka n
tahun dapat dianggap sebagai periode ulang dari x. Perhitungan periode ulang
dapat dilakukan dengan beberapa metode, tetapi metode yang paling banyak
dipakai di Indonesia adalah Metode Extreem Gumbel atau lebih lazim
disebut Metode Gumbel. Rumus metode Gumbel adalah :
Keterangan :
Xr =
Hujan Harian rencana maksimum (mm/24 jam) dengan PUH ….. Tahun
X = Curah hujan rata – rata
δx = Standar deviasi
=
Δn = Expected standar deviasi
Yr = Variasi reduksi untuk PUH …… tahun
Yn = Expected mean
x
= 4)
dimana
:
Xi = Curah hujan maksimum pada tahun x
N = Lama tahun pengamatan
Besarnya
simpangan baku (S) dapat dihitung dengan rumus :
S =
4)
Hubungan
periode ulang dengan reduksi variansi dari variabel Y ditunjukkan pada Tabel
III.3
TABEL .3
HUBUNGAN PERIODE ULANG (T) DENGAN
REDUKSI
VARIANSI DARI VARIABEL (Y)
Periode Ulang (T)
|
Reduksi Variansi (Y)
|
2
5
10
20
50
100
|
0,3065
1,4999
2,2504
2,9702
3,9019
4,6001
|
(Sumber : Soewarno, “Hidrologi”,1995
B. Intensitas
Curah Hujan
Intensitas
Curah Hujan adalah jumlah hujan yang jatuh dalam areal tertentu dalam jangka
waktu yang relatif singkat, dinyatakan dalam mm/jam, mm/menit, atau mm/jam.
Untuk mengetahui nilai intensitas curah hujan di suatu tempat, maka digunakan
alat pencatat curah hujan. Intensitas curah hujan biasanya dinotasikan dengan
huruf I dengan satuan mm/jam, yang artinya tinggi/kedalaman yang terjadi
adalah sekian mm dalam periode waktu 1 jam. Untuk itu hanya didapat dari
data pengamatan curah hujan otomatis. Keadaan curah hujan dapat didefinisikan
dalam tabel sebagai berikut :
TABEL .4INTENSITAS CURAH HUJAN
Keadaan
Curah Hujan
|
Curah
Hujan ( mm )
|
1 Jam
|
24 Jam
|
Hujan Ringan
Hujan Ringan
Hujan Normal
Hujan Deras
Hujan Sangat
Deras
|
< 1
1 – 5
5 – 10
10 – 20
> 20
|
< 5
5 – 10
10 – 50
50 – 100
>100
|
Intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe
:
dimana :
I = Intensitas curah hujan
(mm/jam)
Rt = Curah hujan rencana
t = Lama hujan (menit)
3.
Debit Limpasan (Run Off)
Limpasan adalah semua air yang mengalir akibat hujan
yang bergerak dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah tanpa
memperhatikan asal atau jalan yang di tempuh sebelum mencapai saluran. Debit
limpasan dapat dihitung dengan persamaan rasional berikut :
Q = 0.278 x C x I x A
dimana :
Q = Debit limpasan (m3/detik)
C = Koefisien limpasan (Tabel
III.1)
I = Intensitas curah hujan
(mm/jam)
A = Luas catchment area (km2)
TABEL .5
KOEFISIEN LIMPASAN PADA BERBAGAI
KONDISI
NO
|
KEMIRINGAN
|
TATAGUNA LAHAN
|
NILAI C
|
1
|
Datar, <3%
|
a.
a. sawah dan rawa
b. b.
hutan dan kebun
c. pemukiman dan taman
|
0,2
0,3
0,4
|
2
|
Menengah
3% - 5%
|
a.
a. hutan dan kebun
b. b.
pemukiman dan taman
c.
c. alang-alang, sedikit tanaman
d. tanah gundul, jalan aspal
|
0,4
0,5
0,6
0,7
|
3
|
Curam, >15%
|
a.
a. hutan dan kebun
b. b.
pemukiman dan taman
c.
c. alang-alang, sedikit tanaman
d.
d. tanah gundul,jalan aspal, areal penggalian & penimbunan tambang
|
0,6
0,7
0,8
0,9-1
|
(Sumber : Bambang S, “Perencanaan Drainase Tambang
Terbuka”)1993
4. Kolam Pengendapan Lumpur pada Areal Reklamasi
Pada umumnya
air dari sistem drainage tambang sedikit atau banyak mengandung lumpur, bahkan di
beberapa tambang lumpur tersebut sedemikian pekat sehingga bila langsung
dialirkan ke sungai, danau, atau laut akan menambah atau menyebabkan kekeruhan
dan pendangkalan. Dalam upaya untuk memperkecil
pencemaran terhadap sungai, danau, atau laut, maka cara yang ditempuh adalah
dengan membuat kolam pengendapan (settling pond).
Untuk menentukan dimensi kolam pengendapan (Settling Pond) dapat
menggunakan persamaan sebagai berikut:
V= Q x t A= P= L=
Dimana:
V
= Volume Settling Pond
A =
Luas Settling Pond
P
= Panjang Settling Pond
L
= Lebar tiap Zone
Q
= Debit Air Limpasan
t = Lama Hujan dari Curah Hujan Tertinggi
d
= Kedalaman yang direncanakan
l
= Lebar yang direncanakan
n
= Jumlah zone
Bentuk kolam
pengendapan biasanya hanya digambarkan secara sederhana, yaitu berupa kolam
berbentuk empat persegipanjang, tetapi sebenarnya dapat bermacam-macam bentuk
disesuaikan dengan keperluan dan keadaan lapangannya. Walaupun bentuknya dapat
bermacam-macam, namun pada setiap kolam pengendapan akan selalu ada 4 zona
penting yang terbentuk karena proses pengendapan material padatan. Keempat zona
tersebut adalah :
-
Zona Masukan
Merupakan tempat masuknya air lumpur kedalam kolam pengendapan dengan
anggapan campuran padatan-cairan yang masuk terdistribusi secara seragam. Zona ini panjangnya 0,5-1 kali dari kedalaman kolam.
-
Zona pengendapan
Merupakan tempat partikel padatan akan mengendap. Batas panjang zona ini
adalah panjang dari kolam dikurangi panjang zona masukan dan keluaran.
-
Zona endapan lumpur
Merupakan tempat partikel padatan dalam cairan (lumpur) mengalami
sedimentasi dan terkumpul di bagian bawah kolam
-
Zona keluaran
Merupakan tempat keluaran buangan cairan yang jernih. Panjang zona ini
kira-kira sama dengan kedalaman kolam pengendapan, diukur dari ujung kolam
pengendapan.
2.4. Penghijauan Kembali / Revegetasi
Setelah
dilakukan penyiapan lahan land preparation maka kegiatan reklamasi yang
selanjutnya adalah penghijauan kembali (revegetasi). Kegiatan ini terdiri dari dua kegiatan yaitu
penanaman pohon pioneer dan penanaman tanaman penutup tanah (cover crop)
1.
Penanaman Pohon Pioner
Penanaman pohon pioner merupakan tahapan awal dari penghijauan kembali.
Melalui penanaman pohon pioner ini diharapkan kestabilan iklim mikro yang
hilang akibat pembukaan lahan dapat kembali.
A.
Penyiapan lahan
- Penandaan titik-titik pola penanaman
Pada
areal-areal dengan kemiringan kurang dari 5%, penandaan titik tanam dilakukan
dengan memasang ajir-ajir dengan spasi 5 m x 5 m, Penandaan ini bertujuan untuk
mempermudah titik penanaman pohon nantinya.
Sedangkan pada areal –areal dengan kemiringan lebih dari 5% maka
jalur-jalur penanaman dibuat mengikuti garis-garis kontur, dengan spasi antar kontur adalah 5 m dan jarak antar titik tanam dalam kontur adalah 5
m. Untuk memastikan jalur-jalur tanam mengikuti garis kontur maka
digunakan alat sederhana yang dalam istilah kehutanan sering dibuat
ondol-ondol. Dengan alat ini jalur-jalur tanam akan mudah ditentukan dan
jumlah pohon yang ditanam juga akan optimum.
- Komposisi
jenis tanaman
Tegakan tanaman pioneer haruslah terdiri dari beberapa jenis (polikultur),
bukan sejenis (monokultur), hal ini sangat penting untuk meningkatkan ketahanan
tegakan terhadap serangan hama dan penyakit, meyediakan habitat bagi
binatang-binatang, menghindari kompetisi nutrisi dan exploitasi nutrisi
tertentu secara berlebihan, serta menyediakan keanekaragaman penutupan lahan.
Jenis-jenis pioneer seperti Trema, Molotu, Sengon (Tabel III.6) adalah jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang mampu
mempercepat suksesi jenis-jenis lokal lainnya dan tidak memerlukan perawatan
yang intensif. Jenis-jenis pioneer ini ditujukan untuk memperbaiki iklim
mikro dan kesuburan tanah yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan jenis-jenis
pohon hutan primer pada tahapan selanjutnya
TABEL .6
JENIS
TANAMAN YANG DAPAT DITANAM
SEBAGAI
TANAMAN PIONER
Nama local
|
Nama latin
|
Keterangan
|
Trema
|
Trema orientalis
|
Pioneer
lokal
|
Bonu
|
Trichospermum buretii
|
Pioneer
lokal
|
Malotus
|
Malotus sp
|
Pioneer
lokal
|
Kayu
angina
|
Casuarina sp
|
Pioneer
lokal
|
Sengon
|
Paraserianthes
falcataria
|
Pioneer eksotik
|
Johar
|
Cassia
siamea
|
Pioneer
eksotik
|
Eukaliptus
|
Eucalyptus
urograndis
|
Pioneer
eksotik
|
Sengon
buto
|
Enterolobium
macrocarpum
|
Pioneer
eksotik
|
- Persiapan
lubang tanam dan pemupukan awal
Persiapan lubang tanam dilakukan dengan Titik-titik tanam yang telah
ditentukan kemudian digali dengan ukuran 60 cm lebar, 60 cm panjang dengan
kedalaman 60 cm, jika pada titik tanam tersebut dijumpai batu besar dan tidak
mungkin digali maka lubang tanam digeser pada titik terdekat dengan titik tanam
awal. Semua batu-batu yang dijumpai dikeluarkan dan ditimbun kembali,
setelah lubang digali kemudian ditaburi kapur pada dinding dan dasar lubang
tanam dengan dosis 0,4 kg setiap lubang tanam.
Setelah itu campurkan secara merata pupuk sebagai berikut, 0.4 kg Urea +
0.4 kg KCL + 0.4 kg Sulfomag + 0.4 kg Superguano and 0.3 kg Ostindo, setealah
dicampur merata sebarkan pupuk ke tanah bekas galian lubang dan selanjutnya
tanah bekas galian tersebut ditimbunkan kembali ke dalam lubang tanam, sehingga
penyebaran pupuk di dalam lubang tanam merata.
B. Penanaman pohon pioneer
Bibit pohon
ditanam setelah persiapan lubang tanam selesai dilakukan, sebelum ditanam
lubang dibiarkan minimal selama 3 hari agar gas-gas yang mengganggu pertumbuhan
tanaman keluar dan pupuk sudah meresap ke tanah. Bibit ditanam pada saat
tanah benar-benar basah, sebaiknya sehari setelah hujan.
Bibit yang
akan ditanam diseleksi dahulu di pembibitan, hanya bibit dengan kualitas yang
bagus yang bisa ditanam untuk menjamin kesuksesan tumbuhnya. Bibit yang baik
adalah bibit dengan tinggi lebih dari 40 cm, bentuk batang dan percabangan
baik, sehat, hijaau dan segar serta bebas dari hama dan penyakit. Pada saat
meyeleksi dan selama pengangkutan harus dihindari memegang bibit pada batangnya
karena bisa tercabut, bibit harus dipegang pada polybag-nya, sebelum dibawa ke
lapangan bibit harus disiram terlebih dahulu untuki menjamin persediaan airnya
selama beberapa hari.
Pada saat hendak
menanam padatkan polybag agar perakaran bibit dan medianya kompak dan tidak
terhambur, robek polybag hati-hati jangan samapai perakaran rusak dan lepaskan
perakaran bibit dari polybag-nya secara hati-hati pula, taruh sobekan poly-bag
pada ajir-ajir sebagai tanda bahwa tanaman telah ditanam. Tanam bibit tegak lurus dan pastikan semua media tanam tertimbun kurang
lebih 2 – 3 cm dari permukaan tanah. Jika bibit terlalu tinggi maka
ikatkan batangnya pada ajir-ajir untuk memperkuat tegaknya bibit jika terterpa
angin. Ilustrasi penanaman disajikan
pada gambar berikut ini.
C. Pemeliharaan pohon pioneer
Tujuan
pemeliharaan tanaman adalah :
1.
Mencapai persentase jadi tanaman di atas 90 %
2.
Mencapai pertumbuhan tegakan optimal yang berkelanjutan
3.
Terciptanya tegakan yang sehat
4.
Terciptanya iklim mikro di bawah tegakan sesegera mungkin yang kondusif untuk
penanaman dan pertumbuhan jenis-jenis lokal selanjutnya
Pemeliharaan
tanaman setelah tanam harus dilakukan hingga tanaman bisa tumbuh dengan
sendirinya secara berkelanjutan, pada umumnya penanaman dilakukan sampai
tanaman berumur satu setengah tahun. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi
penyulaman tanaman mati, pembersihan gulma yang mengganggu/menghambat
pertumbuhan tanaman, pemulsaan, pemberantasan hama penyakit dan pemupukan
ulang. Secara ringkas program pemeliharaan tanaman disajikan pada tabel
berikut.
TABEL .10
PROGRAM
PEMELIHARAAN TANAMAN
Umur tanaman
|
Pemeliharaan
|
1 – 5 bulan setelah tanam
|
Penyulaman, penyiangan, pendangiran, pengalihan
aliran air yang merusak dan penanggulangan hama-penyakit
|
6 bulan setelah tanam
|
Penyiangan, pendangiran, dan pemupukan lanjutan
|
1 tahun setelah tanam
|
Penyiangan, pendangiran, dan pemupukan lanjutan
ke-2
|
1,5 tahun setelah tanam
|
Penyiangan dan pemulsaan
|
-
Penyiangan dan pendangiran
Semua gulma
atau rumput yang berada dalam radius 1 m dari sekeliling pangkal batang tanaman
harus dibersihkan sampai ke akarnya agar tidak tumbuh kembali karena bisa
menyebabkan persaingan penyerapan nutrisi dan juga bisa menjadi sarang hama
maupun penyakit tanaman. Setelah dibersihkan kemudian dilakukan
pendangiran dengan tujuan menggemburkan tanah agar aerasi tanah berjalan dengan
baik.
-
Pemupukan lanjutan
Pemupukan
lanjutan diberikan dalam paritan yang dibuat sekeliling pohon mengikuti
proyeksi tajuk, paritan dibuat dengak ukuran kurang lebih 8 cm dalam dan 10 cm
lebar, pupuk dicampur seperti pada prosedur penanaman kemudian disebarkan
merata pada sekeliling paritan dengan dosis yang sama dengan penanaman dan
ditutup tanah kembali.
-
Penyulaman
Penyulaman tanaman bertujuan untuk mempertahankan populasi tanaman dalam
suatu luasan sesuai dengan rencana. Semua tanaman yang mati diganti
dengan yang baru, jika tanaman mati setelah lebih dari 3 bulan maka harus
dilakukan pemupukan ulang, prosedur penyulaman mengikuti prosedur
penanaman. Seluruh tumbuhan dalam radius penyulaman harus dibersihkan
dahulu (jari-jari 1m).
- Pemulsaan
Pemulsaan dilakukan setelah tanaman berumur 1,5 tahun lebih, tujuan
pemulsaan adalah untuk merangsang kehidupan organisme tanah yang berperan
penting dalam siklus hara tanah, mempercepat pengembalian nutrisi organik ke
tanah dari biomasa tumbuhan disekitarnya, disamping juga untuk menjaga
kelembaban tanah dan menekan laju pertumbuhan gulma disekitar pangkal
pohon. Pemulsaan dilakukan bersamaan dengan penyiangan, biomasa hasil
penyiangan terutama dari tumbuhan legume disebarkan disekitar pangkal pohon
dengan ketebalan minimal 15 cm, mulsa ini seiring dengan waktu akan
terdekomposisi secara alami dan melepaskan nutrisi ke dalam tanah yang akan
dimanfaatkan oleh tanaman.
- Penanggulangan hama dan penyakit
Tujuan
penanggulangan hama dan penyakit tanaman adalah untuk mencapai tegakan yang
sehat dengan pola pertumbuhan yang progresif.
2.
Penanaman tanaman penutup tanah/cover crop
Tujuan penanaman tanaman penutup tanah adalah untuk mengurangi laju erosi
tanah, menstabilkan permukaan tanah dari energi kinetis air hujan, membantu
memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dari serasahnya yang jatuh dan
terdekomposisi, serta merangsang kehidupan organisme tanah yang berperan
penting dalam siklus nutrisi.
A.
Penanaman pada lereng dengan kemiringan < 450
-
Penggaruan
Sebelum
dilakukan penanaman lahan perlu disiapkan agar pertumbuhan dan kerapatan
tanaman penutup tanah merata, salah satu kegiatan penyiapan lahan adalah penggaruan,
kegiatan ini ditujukan untuk menggemburkan tanah, meningkatkan infiltrasi air
ke tanah, mengurangi laju erosi dan mempertahankan benih dan pupuk yang akan
disebar tidak hanyut terbawa air hujan. Penggaruan dilakukan dengan
excavator, traktor atau dozer dengan kedalaman sekitar 10 cm mengikuti garis
kontur dan dilakukan menyeluruh pada semua areal. Ilustrasi pekerjaan ini
disajikan pada gambar berikut.
-
Pemupukan
Setelah penggaruan selesai dilakukan kemudian pupuk kompos disebarkan merata
ke seluruh permukaan areal yang akan ditanam dengan dosis 2,9 kg/m2
(29 ton/Ha), setelah itu pupuk kimia disebarkan diatas pupuk kompos dengan
dosis 100gr /m2. Sebelum disebar pupuk dicampur merata dahulu
dengan komposisi sebagai berikut, KCL, Superguano, Sulfomag dan Ostindo
(1:1:1:1:0.5). Pada radius 0.5 m sekeliling pohon tidak perlu ditebar
pupuk, karena tidak akan ditanami tanaman penutup tanah.
- Penebaran benih
Setelah pemupukan selesai dilakukan, maka areal tersebut siap untuk
ditanami benih tanaman penutup tanah. Sebelum disebar, benih dicampur
dahulu secara merata dengan komposisi sebagai berikut
TABEL .8
KOMPOSISI
BENIH COVER CROP
Nama umum
|
Nama latin
|
Komposisi
(%)
|
Bermuda
|
Cynodon dactylon
|
30%
|
Centro
|
Centrosema pubescent
|
10%
|
Burgundy
|
Macroptilium bracteatum
|
20%
|
WF millet
|
Panicum miliaceum
|
40%
|
Wynn
cassia
|
Chamaecrista
rotundifolia
|
|
Total
|
|
100%
|
Kombinasi jenis-jenis tanaman penutup tanah tersebut di atas dapat
menghasilkan penutupan lahan lebih dari 70% dalam waktu 6 minggu setelah tanam
dalam kondisi hujan yang cukup (dalam satu minggu minimal terdapat 3 kali hari
hujan), sehingga dapat menekan laju erosi dalam waktu relatif singkat.
Disamping itu Setelah dicampur kemudian benih disebarkan ke seluruh areal
secara merata dengan kerapatan 50 kg/Ha. Setelah disebar kemudian benih
digaru tipis-tipis, kurang lebih 3 – 5 cm untuk memastikan benih tertanam
dengan baik dan tertutup tanah tipis-tipis.