Senin, 28 September 2015

SEKRIPSI | PERENCANAAN REKLAMASI TAMBANG BATUBARA









DASAR TEORI
1.  Pengertian Reklamasi
Penambangan dapat mengubah lingkungan fisik, kimia, dan biologi seperti bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran air, debu, getaran, pola vegetasi ,habitat fauna, dan sebagainya. Perubahan-perubahan seperti ini harus segera dikelola untuk menghindari kerusakan permanen lingkungan hidup. Oleh karena itu, setiap usaha penambangan harus melakukan usaha pemulihan lingkungan sesudah kegiatan penambangan, yang biasa disebut reklamasi.
Reklamasi dalam usaha pertambangan adalah upaya memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Sedangkan pengertian lain reklamasi dalam bidang pertambangan adalah setiap pekerjaaan dalam upaya untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup di bekas daerah tambang menjadi daerah yang berdaya guna. (“Kamus Pertambangan Umum”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral.)
Kegiatan penambangan batubara ini akan mengakibatkan suatu dampak langsung maupun tidak langsung, dampak positif ataupun dampak negatif terhadap lingkungan disekitar lokasi penambangan tersebut. Segi positifnya biasanya memperoleh nilai (manfaat) sebaliknya dampak yang negatif dapat merugikan lingkungan itu. Dampak tersebut baik itu abiotik atau fisik (tanah, air dan udara), pengaruh biotik (flora dan fauna), serta pengaruh ekonomi dan sosial budaya. Untuk mengatasi dampak lingkungan tersebut terutama dampak negatif, sebelumnya perlu  dilakukan penelitian, lalu digunakan sebagai pedoman atau acuan untuk menangani dampak ligkungan tersebut.
Dampak negatif yang dapat terjadi akibat aktivitas  penambangan pada tambang terbuka antara lain :
a.    Rusak atau terganggunya lapisan kerak/kulit bumi. Hal ini disebabkan oleh kegiatan penggalian lapisan yang menutupi endapan bahan galian.
b.    Hilangnya kesuburan tanah.
c.    Rusak atau terganggunya sistem aliran air alami, baik aliran permukaan maupun bawah permukaan. Hal ini bila dibiarkan dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan lingkungan lebih jauh lagi, seperti : longsoran, genangan/luapan air permukaan, pencemaran dan lain sebagainya.
d.   Terganggunya ekosistem yang ada disekitar tambang.
Dampak negatif seperti yang tersebut di atas dapat ditanggulangi dengan segera merencanakan kegiatan pemulihan atau rehabilitasi lahan dan koservasi tanah yaitu usaha memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan kondisi lahan agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air, maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.
2.  Perencanaan Reklamasi
Reklamasi dapat ditempuh dengan melalui berbagai tahapan. Dimulai dengan pengaturan bentuk muka lahan dan standar lereng lahan rehabilitasi, pengaturan tanah pucuk, pengendalian erosi, pembangunan drainase, pembangunan jalan vegetasi, penghijauan, pemeliharaan tanaman, dan pemantauan pertumbuhan tanaman.
Perencanaan reklamasi dibuat dengan tujuan agar proses kegiatan reklamasi dapat berjalan sesuai dengan rencana serta meningkatkan persentase tingkat keberhasilan reklamasi.
III.2.1. Pengaturan/Pembentukan Lahan Untuk Rehabilitasi
Daerah yang mineral bahan galiannya telah diambil masih berbentuk tidak teratur untuk itu diperlukan penataan lahan yang bertujuaan untuk :
1.    Untuk memperoleh permukaan akhir yang stabil dan mempunyai bentuk alami sehingga serasi dengan bentuk bentang alam yang masih asli
2.    Untuk mendukung keberhasilan pertumbuhan tanaman
3.    Untuk memudahkan akses pekerjaan selanjutnya ke seluruh areal
4.    Untuk meningkatkan nilai estetika lahan
Pekerjaan – pekerjaan dalam pembentukan lahan untuk rehabilitasi meliputi :
1.  Perataan Lahan
Permukaan lahan pada lokasi purna yang merupakan target penghijauan bisanya banyak terdapat timbunan-timbunan yang tidak teratur disertai dengan cebakan-cebakan air yang tidak beraturan pula, hal ini dapat menghambat pertumbuhan tanaman disamping menyulitkan aktivitas pekerjaan.
Seluruh timbunan yang tidak beraturan dirapikan dan diratakan, cebakan-cebakan yang berpotensi membentuk genangan air ditimbun dengan material hasil dorongan dari timbunan yang diratakan.  Dalam melakukan perataan harus dihindari pendorongan yang berulang-ulang karena dapat menyebabkan pemadatan tanah yang berlebih.


2.  Penimbunan Batu-Batuan
Pada areal disposal (tempat pembuangan tanah penutup) seringkali terdapat bebatuan yang tidak beraturan.  Bebatuan ini sangat menganggu kelancaran operasional pekerjaan penghijauan, menimbulkan kesan kegersangan disamping merusak nilai estetika lahan.
Semua bebatuan yang muncul dipermukaan lahan dikumpulkan pada lubang/cekungan lahan yang ada dan ditimbun dengan tanah minimal setebal 1 m.  Jika tidak terdapat lubang atau cekungan, bebatuan yang berserakan tersebut dapat dikumpulkan pada suatu tempat dan digalikan lubang, setelah itu bebatuan tersebut dimasukkan pada lubang tersebut  dan ditimbun sedalam 1 m dari permukaan lahan.
3. Pembersihan Sisa-sisa Potongan Batang Pohon
Sisa pohon hasil proses treecuting dipisahkan atau ditimbun agar tidak menghalangi proses operasional reklamasi. Pembersihan dimulai dari memisahkan batang pohon yang besar dengan menggunakan alat berat, batang pohon yang kecil dapat langsung ditimbun dengan material overburden.
4.  Pembentukan Lereng/Pembentukan Kontur.
Pada tempat penimbunan tanah penutup (disposal) yang telah ditinggalkan terdapat timbunan-timbunan yang membentuk lereng yang terkadang tidak stabil, sehingga lokasi-lokasi tersebut menyulitkan kegiatan penanaman dan sangat memungkinkan terjadinya tanah longsor.  Selain itu lereng tempat tanah penimbunan ini sangat mudah tererosi, sehingga menyebabkan pencucian nutrisi dan sedimentasi yang serius yang akhirnya akan mendorong gagalnya revegetasi, pengotoran dan pendangkalan daerah perairan. Disamping itu juga sangat berbahaya bagi keselamatan pekerja untuk bekerja pada kondisi lereng yang tidak stabil. Pembentukan lereng dibedakan menjadi : 
A. Pembentukan Lereng Pada Timbunan Tanah Penutup
Pembentukan lereng bukit harus diarahkan untuk terciptanya bentuk akhir yang semaksimal mungkin mengurangi laju erosi, stabil, memudahkan pekerjaan penanaman dan mendukung pertumbuhan vegetasi. Pada lereng-lereng yang curam dilakukan pengurangan kemiringan lahan dengan pemotongan bagian puncak lereng dan menimbunkannya pada bagian kaki lereng (cut and fill).  Secara garis besar spesifikasi pembentukan lereng pada areal penimbunan tanah penutup adalah sebagai berikut:
TABEL III.1
SPESIFIKASI KONSTRUKSI TIMBUNAN TANAH PENUTUP
Parameter
Spesifikasi
Sudut kemiringan akhir
3 : 1 atau lebih landai
Panjang lereng individu maksimum
80 m
Bentuk lereng
Cekung dan atau kompleks
Permukaan lereng
Kasar
Hasil akhir dari pembentukan lereng adalah akan mengikuti bentuk alami yang selaras dengan topografi daerah sekitarnya, gambar spesifikasi teknis pembentukan lereng ini dapat dilihat pada gambar berikut.
B.  Puncak Batuan Dasar (Bed rock)
Pada sebagian daerah purna tambang yang berupa bukit-bukit berbatu dikarenakan bentuk topografinya terkadang tidak bisa ditimbun seluruhnya sehingga memiliki kemiringan yang sangat curam dan menyebabkan daerah tersebut tidak memungkinkan untuk ditanami.  Agar daerah ini bisa direhabilitasi maka areal-areal ini harus ditata ulang terlebih dahulu
Daerah-daerah berbatu walaupun mempunyai kemiringan yang curam, pada umumnya daerah tersebut stabil, karena merupakan batuan, sehingga tidak berpotensi tererosi atau longsor. Pembentukan lereng ditujukan untuk memungkinkan orang bekerja dengan aman pada lereng tersebut, membuat akses jalan, dan penebaran tanah pucuk (topsoil) sehingga memungkinkan tumbuhan/vegetasi untuk tumbuh dengan baik.  Spesifikasinya adalah sebagai berikut:
TABEL .2
SPESIFIKASI KONSTRUKSI PUNCAK BATU
Parameter
Spesifikasi
Sudut kemiringan maksimum
1 : 1.5
Panjang lereng individu maksimum
20 m
Lebar bench setiap lereng
6 m, miring ke dalam
Bentuk lereng
Seragam
Permukaan lereng
Kasar
 
  
C.  Lereng Balik/Back Slope
Lereng-lereng dengan panjang lebih dari 100 m akan sangat rawan erosi sehingga akan menimbulkan masalah sedimentasi dan menjadi faktor pembatas bagi kesuksesan revegetasi, oleh karenanya perlu dibuat suatu struktur yang bisa meminimalkan dampak negative tersebut. 
Untuk menanggulangi dampak negatif dari lereng-lereng panjang tersebut adalah dengan membuat struktur lereng balik (back slope)  pada setiap interval 80 m – 100 m panjang lereng, lebar lereng balik ini adalah minimal 5 m – 6 m dengan kemiringan 5% ke arah dalam dinding lereng dan arah kemiringan bench adalah 4% untuk mengalirkan air yang terkumpul. Spesifikasi teknis untuk pekerjaan ini dapat dilihat pada gambar berikut.
2.2 Pembuatan Akses Jalan
Setelah penataan/pembentukan lahan, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan akses jalan yang akan digunakan untuk pengangkutan tanah pucuk, jalur transportasi kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pemantauan.  Untuk kemudahan akses maka jalan dibuat semaksimal mungkin dengan interval setiap 100 m, dengan lebar 5 m – 6 m dan tebal pembatuan ± 0.5 m sehingga mampu menopang beban 30 ton, gradient jalan maksimal 10%.  Pada daerah lereng akses jalan dibuat pada lereng-lereng balik, sehingga selain berfungsi untuk penahan erosi juga berfungsi untuk akses jalan.
2.3 Pembuatan Saluran Air/Drainase
Saluran air (drainase) sangat penting untuk mengarahkan dan mengendalikan air limpasan permukaan (Run Off) untuk mendukung keberhasilan usaha reklamasi di PT. Firman Ketaun, mengingat curah hujan yang mencapai 239,13 mm/bulan.  Run Off ini jika tidak dikendalikan dan diarahkan bisa menyebabkan terjadinya erosi alur dan parit yang cukup parah, sehingga banyak tanaman pada jalur erosi tersebut yang gagal tumbuh.
Drainase dibuat berdasarkan topografi akhir setelah penataan lahan, umumnya bentuk drainase mengikuti kaki lereng sehingga terbentuk saluran air yang berkelok-kelok mengikuti kaki lereng dan tampak alami, selain juga mengurangi laju aliran air.

Untuk mengurangi kecepatan air yang pada akhirnya mengurangi daya erosinya maka dibuat saluran jenjang dan cekdam.  Selain untuk mengurangi kecepatan aliran air dan mengurangi daya erosinya, cekdam juga berfungsi sebagai tempat mengendapnya sediment yang terbawa oleh aliran air. 

Dalam perencanaan drainase tambang, terdapat beberapa faktor yang mepengaruhi dan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.   Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)
Pengertian daerah tangkapan hujan adalah daerah yang diperkirakan berpotensi untuk mengalirkan air limpasan menuju suatu daerah kerja, dengan kata lain curah hujan yang jatuh dalam daerah tersebut dapat berkumpul dalam satu tempat terendah dari daerah tersebut. Penentuan daerah tangkapan hujan didasarkan pada peta topografi daerah yang akan diteliti, daerah tangkapan hujan dibatasi oleh punggungan bukit. Setelah ditentukan maka diukur luasnya. Luas daerah tangkapan hujan diukur dengan menggunakan program Surfer pada komputer
2.   Curah Hujan 
Curah hujan adalah banyaknya air hujan yang jatuh ke bumi persatu satuan luas permukaan pada suatu jangka waktu tertentu. Curah hujan merupakan salah satu faktor penting dalam perencanaan suatu sistem drainase, karena besar kecilnya curah hujan akan mempengaruhi besar kecilnya air limpasan. Besar kecilnya curah hujan dapat dinyatakan sebagai volume air hujan yang jatuh pada suatu areal tertentu dalam jangka waktu relatif lama, oleh karena itu besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam m3/satuan luas, secara umum dinyatakan dalam tinggi air (mm). Curah hujan 10 mm berarti tinggi hujan yang jatuh pada areal seluas 1 m2 adalah 10 liter. Angka-angka curah hujan yang diperoleh sebelum diterapkan dalam rencana pengendalian air permukaan harus diolah terlebih dahulu. Data curah hujan yang akan dianalisis adalah Curah hujan harian maksimum dalam satu tahun selama 10 sampai 20 tahun, dinyatakan dalam mm/24 jam. Analisis data curah hujan meliputi :
A.  Periode Ulang Hujan (PUH)
Periode ulang hujan adalah hujan maksimum yang diharapkan terjadi pada setiap n tahun. Jika suatu data curah hujan mencapai harga tertentu (x) yang diperkirakan terjadi satu kali dalam n tahun, maka n tahun dapat dianggap sebagai periode ulang dari x. Perhitungan periode ulang dapat dilakukan dengan beberapa metode, tetapi metode yang paling banyak dipakai di Indonesia adalah Metode Extreem Gumbel atau lebih lazim disebut Metode Gumbel. Rumus metode Gumbel  adalah :
Keterangan :
Xr  = Hujan Harian rencana maksimum (mm/24 jam) dengan PUH ….. Tahun
X  = Curah hujan rata – rata
δx  = Standar deviasi
   =
Δn = Expected standar deviasi
Yr = Variasi reduksi untuk PUH …… tahun
Yn = Expected mean
                                                      x =    4)
dimana :      
                     Xi  =  Curah hujan maksimum pada tahun x
N   =  Lama tahun pengamatan
Besarnya simpangan baku (S) dapat dihitung dengan rumus :
S =    4)
Hubungan periode ulang dengan reduksi variansi dari variabel Y ditunjukkan pada Tabel III.3
TABEL .3
HUBUNGAN PERIODE ULANG (T) DENGAN REDUKSI
VARIANSI DARI VARIABEL (Y)
Periode Ulang (T)
Reduksi Variansi (Y)
2
5
10
20
50
100
0,3065
1,4999
2,2504
2,9702
3,9019
4,6001
(Sumber : Soewarno, “Hidrologi”,1995
B.   Intensitas Curah Hujan
Intensitas Curah Hujan adalah jumlah hujan yang jatuh dalam areal tertentu dalam jangka waktu yang relatif singkat, dinyatakan dalam mm/jam, mm/menit, atau mm/jam. Untuk mengetahui nilai intensitas curah hujan di suatu tempat, maka digunakan alat pencatat curah hujan. Intensitas curah hujan biasanya dinotasikan dengan huruf  I dengan satuan mm/jam, yang artinya tinggi/kedalaman yang terjadi adalah sekian mm dalam periode waktu 1 jam.  Untuk itu hanya didapat dari data pengamatan curah hujan otomatis. Keadaan curah hujan dapat didefinisikan dalam tabel sebagai berikut :
TABEL .4INTENSITAS CURAH HUJAN
Keadaan Curah Hujan
Curah Hujan ( mm )
1 Jam
24 Jam
Hujan Ringan
Hujan Ringan
Hujan Normal
Hujan Deras
Hujan Sangat Deras
< 1
1 – 5
5 – 10
10 – 20
> 20
< 5
5 – 10
10 – 50
50 – 100
>100
Intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe :
dimana :
I   = Intensitas curah hujan (mm/jam)
Rt = Curah hujan rencana  
t   = Lama hujan (menit)
3.   Debit Limpasan (Run Off)
Limpasan adalah semua air yang mengalir akibat hujan yang bergerak dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah tanpa memperhatikan asal atau jalan yang di tempuh sebelum mencapai saluran. Debit limpasan dapat dihitung dengan persamaan rasional berikut :
Q = 0.278 x C x I x A
dimana :
Q     = Debit limpasan (m3/detik)
C     = Koefisien limpasan (Tabel III.1)
I      = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A     = Luas catchment area (km2)
TABEL .5
KOEFISIEN LIMPASAN PADA BERBAGAI KONDISI
NO
KEMIRINGAN
TATAGUNA LAHAN
NILAI C
1
Datar, <3%
a.       a. sawah dan rawa
b.      b. hutan dan kebun
c.  pemukiman dan taman
0,2
0,3
0,4
2
Menengah
3% - 5%
a.       a. hutan dan kebun
b.      b. pemukiman dan taman
c.       c. alang-alang, sedikit tanaman
d. tanah gundul, jalan aspal
0,4
0,5
0,6
0,7
3
Curam, >15%
a.       a. hutan dan kebun
b.      b. pemukiman dan taman
c.       c. alang-alang, sedikit tanaman
d.  d. tanah gundul,jalan aspal, areal penggalian & penimbunan tambang
0,6
0,7
0,8
0,9-1
(Sumber : Bambang S, “Perencanaan Drainase Tambang Terbuka”)1993
4.  Kolam Pengendapan Lumpur  pada Areal Reklamasi
Pada umumnya air dari sistem drainage tambang sedikit atau banyak mengandung lumpur, bahkan di beberapa tambang lumpur tersebut sedemikian pekat sehingga bila langsung dialirkan ke sungai, danau, atau laut akan menambah atau menyebabkan kekeruhan dan pendangkalan. Dalam upaya untuk memperkecil pencemaran terhadap sungai, danau, atau laut, maka cara yang ditempuh adalah dengan membuat kolam pengendapan (settling pond).
Untuk menentukan dimensi kolam pengendapan (Settling Pond) dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:
V= Q x t  A= P= L=
Dimana:
V  =  Volume Settling Pond
A =  Luas Settling Pond
P   =  Panjang Settling Pond
L   =  Lebar tiap Zone
Q  =  Debit Air Limpasan
 t   =  Lama Hujan dari Curah Hujan Tertinggi
d   =  Kedalaman yang direncanakan
 l   =  Lebar yang direncanakan
 n   = Jumlah zone
Bentuk kolam pengendapan biasanya hanya digambarkan secara sederhana, yaitu berupa kolam berbentuk empat persegipanjang, tetapi sebenarnya dapat bermacam-macam bentuk disesuaikan dengan keperluan dan keadaan lapangannya. Walaupun bentuknya dapat bermacam-macam, namun pada setiap kolam pengendapan akan selalu ada 4 zona penting yang terbentuk karena proses pengendapan material padatan. Keempat zona tersebut adalah :
-        Zona Masukan
Merupakan tempat masuknya air lumpur kedalam kolam pengendapan dengan anggapan campuran padatan-cairan yang masuk terdistribusi secara seragam. Zona ini panjangnya 0,5-1 kali dari kedalaman kolam.
-        Zona pengendapan
Merupakan tempat partikel padatan akan mengendap. Batas panjang zona ini adalah panjang dari kolam dikurangi panjang zona masukan dan keluaran.
-        Zona endapan lumpur
Merupakan tempat partikel padatan dalam cairan (lumpur) mengalami sedimentasi dan terkumpul di bagian bawah kolam
-        Zona keluaran
Merupakan tempat keluaran buangan cairan yang jernih. Panjang zona ini kira-kira sama dengan kedalaman kolam pengendapan, diukur dari ujung kolam pengendapan. 
                                 2.4. Penghijauan Kembali / Revegetasi
Setelah dilakukan penyiapan lahan land preparation maka kegiatan reklamasi yang selanjutnya adalah penghijauan kembali (revegetasi). Kegiatan ini terdiri dari dua kegiatan yaitu penanaman pohon pioneer dan penanaman tanaman penutup tanah (cover crop)
1. Penanaman Pohon Pioner
Penanaman pohon pioner merupakan tahapan awal dari penghijauan kembali. Melalui penanaman pohon pioner ini diharapkan kestabilan iklim mikro yang hilang akibat pembukaan lahan dapat kembali.
A.      Penyiapan lahan
   - Penandaan titik-titik pola penanaman
Pada areal-areal dengan kemiringan kurang dari 5%, penandaan titik tanam dilakukan dengan memasang ajir-ajir dengan spasi 5 m x 5 m, Penandaan ini bertujuan untuk mempermudah titik penanaman pohon nantinya.
Sedangkan pada areal –areal dengan kemiringan lebih dari 5% maka jalur-jalur penanaman dibuat mengikuti garis-garis kontur, dengan spasi antar kontur adalah 5 m dan jarak antar titik tanam dalam kontur adalah 5 m.  Untuk memastikan jalur-jalur tanam mengikuti garis kontur maka digunakan alat sederhana yang dalam istilah kehutanan sering dibuat ondol-ondol.  Dengan alat ini jalur-jalur tanam akan mudah ditentukan dan jumlah pohon yang ditanam juga akan optimum. 
- Komposisi jenis tanaman
Tegakan tanaman pioneer haruslah terdiri dari beberapa jenis (polikultur), bukan sejenis (monokultur), hal ini sangat penting untuk meningkatkan ketahanan tegakan terhadap serangan hama dan penyakit, meyediakan habitat bagi binatang-binatang, menghindari kompetisi nutrisi dan exploitasi nutrisi tertentu secara berlebihan, serta menyediakan keanekaragaman penutupan lahan.
Jenis-jenis pioneer seperti Trema, Molotu, Sengon (Tabel III.6) adalah jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang mampu mempercepat suksesi jenis-jenis lokal lainnya dan tidak memerlukan perawatan yang intensif.  Jenis-jenis pioneer ini ditujukan untuk memperbaiki iklim mikro dan kesuburan tanah yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan jenis-jenis pohon hutan primer pada tahapan selanjutnya
TABEL .6
JENIS TANAMAN YANG DAPAT DITANAM
SEBAGAI TANAMAN PIONER
Nama local
Nama latin
Keterangan
Trema
Trema orientalis
Pioneer lokal
Bonu
Trichospermum buretii
Pioneer lokal
Malotus
Malotus sp
Pioneer lokal
Kayu angina
Casuarina sp
Pioneer lokal
Sengon
Paraserianthes falcataria
Pioneer eksotik
Johar
Cassia siamea
Pioneer eksotik
Eukaliptus
Eucalyptus urograndis
Pioneer eksotik
Sengon buto
Enterolobium macrocarpum
Pioneer eksotik
- Persiapan lubang tanam dan pemupukan awal
Persiapan lubang tanam dilakukan dengan Titik-titik tanam yang telah ditentukan kemudian digali dengan ukuran 60 cm lebar, 60 cm panjang dengan kedalaman 60 cm, jika pada titik tanam tersebut dijumpai batu besar dan tidak mungkin digali maka lubang tanam digeser pada titik terdekat dengan titik tanam awal.  Semua batu-batu yang dijumpai dikeluarkan dan ditimbun kembali, setelah lubang digali kemudian ditaburi kapur pada dinding dan dasar lubang tanam dengan dosis 0,4 kg setiap lubang tanam.
Setelah itu campurkan secara merata pupuk sebagai berikut, 0.4 kg Urea + 0.4 kg KCL + 0.4 kg Sulfomag + 0.4 kg Superguano and 0.3 kg Ostindo, setealah dicampur merata sebarkan pupuk ke tanah bekas galian lubang dan selanjutnya tanah bekas galian tersebut ditimbunkan kembali ke dalam lubang tanam, sehingga penyebaran pupuk di dalam lubang tanam merata.
B.  Penanaman pohon pioneer
Bibit pohon ditanam setelah persiapan lubang tanam selesai dilakukan, sebelum ditanam lubang dibiarkan minimal selama 3 hari agar gas-gas yang mengganggu pertumbuhan tanaman keluar dan pupuk sudah meresap ke tanah.  Bibit ditanam pada saat tanah benar-benar basah, sebaiknya sehari setelah hujan.
Bibit yang akan ditanam diseleksi dahulu di pembibitan, hanya bibit dengan kualitas yang bagus yang bisa ditanam untuk menjamin kesuksesan tumbuhnya. Bibit yang baik adalah bibit dengan tinggi lebih dari 40 cm, bentuk batang dan percabangan baik, sehat, hijaau dan segar serta bebas dari hama dan penyakit. Pada saat meyeleksi dan selama pengangkutan harus dihindari memegang bibit pada batangnya karena bisa tercabut, bibit harus dipegang pada polybag-nya, sebelum dibawa ke lapangan bibit harus disiram terlebih dahulu untuki menjamin persediaan airnya selama beberapa hari.
Pada saat hendak menanam padatkan polybag agar perakaran bibit dan medianya kompak dan tidak terhambur, robek polybag hati-hati jangan samapai perakaran rusak dan lepaskan perakaran bibit dari polybag-nya secara hati-hati pula, taruh sobekan poly-bag pada ajir-ajir sebagai tanda bahwa tanaman telah ditanam.  Tanam bibit tegak lurus dan pastikan semua media tanam tertimbun kurang lebih 2 – 3 cm dari permukaan tanah.  Jika bibit terlalu tinggi maka ikatkan batangnya pada ajir-ajir untuk memperkuat tegaknya bibit jika terterpa angin.  Ilustrasi penanaman disajikan pada gambar berikut ini.
C.  Pemeliharaan pohon pioneer
Tujuan pemeliharaan tanaman adalah :
1.    Mencapai persentase jadi tanaman di atas 90 %
2.    Mencapai pertumbuhan tegakan optimal yang berkelanjutan
3.    Terciptanya tegakan yang sehat
4.    Terciptanya iklim mikro di bawah tegakan sesegera mungkin yang kondusif untuk penanaman dan pertumbuhan jenis-jenis lokal selanjutnya 
Pemeliharaan tanaman setelah tanam harus dilakukan hingga tanaman bisa tumbuh dengan sendirinya secara berkelanjutan, pada umumnya penanaman dilakukan sampai tanaman berumur satu setengah tahun.  Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyulaman tanaman mati, pembersihan gulma yang mengganggu/menghambat pertumbuhan tanaman, pemulsaan, pemberantasan hama penyakit dan pemupukan ulang. Secara ringkas program pemeliharaan tanaman disajikan pada tabel berikut.
TABEL .10
PROGRAM PEMELIHARAAN TANAMAN
Umur tanaman
Pemeliharaan
1 – 5 bulan setelah tanam
Penyulaman, penyiangan, pendangiran, pengalihan aliran air yang merusak dan penanggulangan hama-penyakit
6 bulan setelah tanam
Penyiangan, pendangiran, dan pemupukan lanjutan
1 tahun setelah tanam
Penyiangan, pendangiran, dan pemupukan lanjutan ke-2
1,5 tahun setelah tanam
Penyiangan dan pemulsaan
-   Penyiangan dan pendangiran
Semua gulma atau rumput yang berada dalam radius 1 m dari sekeliling pangkal batang tanaman harus dibersihkan sampai ke akarnya agar tidak tumbuh kembali karena bisa menyebabkan persaingan penyerapan nutrisi dan juga bisa menjadi sarang hama maupun penyakit tanaman.  Setelah dibersihkan kemudian dilakukan pendangiran dengan tujuan menggemburkan tanah agar aerasi tanah berjalan dengan baik.
-  Pemupukan lanjutan
Pemupukan lanjutan diberikan dalam paritan yang dibuat sekeliling pohon mengikuti proyeksi tajuk, paritan dibuat dengak ukuran kurang lebih 8 cm dalam dan 10 cm lebar, pupuk dicampur seperti pada prosedur penanaman kemudian disebarkan merata pada sekeliling paritan dengan dosis yang sama dengan penanaman dan ditutup tanah kembali.
-  Penyulaman
Penyulaman tanaman bertujuan untuk mempertahankan populasi tanaman dalam suatu luasan sesuai dengan rencana.  Semua tanaman yang mati diganti dengan yang baru, jika tanaman mati setelah lebih dari 3 bulan maka harus dilakukan pemupukan ulang, prosedur penyulaman mengikuti prosedur penanaman.  Seluruh tumbuhan dalam radius penyulaman harus dibersihkan dahulu (jari-jari 1m).
-  Pemulsaan
Pemulsaan dilakukan setelah tanaman berumur 1,5 tahun lebih, tujuan pemulsaan adalah untuk merangsang kehidupan organisme tanah yang berperan penting dalam siklus hara tanah, mempercepat pengembalian nutrisi organik ke tanah dari biomasa tumbuhan disekitarnya, disamping juga untuk menjaga kelembaban tanah dan menekan laju pertumbuhan gulma disekitar pangkal pohon.  Pemulsaan dilakukan bersamaan dengan penyiangan, biomasa hasil penyiangan terutama dari tumbuhan legume disebarkan disekitar pangkal pohon dengan ketebalan minimal 15 cm, mulsa ini seiring dengan waktu akan terdekomposisi secara alami dan melepaskan nutrisi ke dalam tanah yang akan dimanfaatkan oleh tanaman.
-  Penanggulangan hama dan penyakit
Tujuan penanggulangan hama dan penyakit tanaman adalah untuk mencapai tegakan yang sehat dengan pola pertumbuhan yang progresif.
2.  Penanaman tanaman penutup tanah/cover crop 
Tujuan penanaman tanaman penutup tanah adalah untuk mengurangi laju erosi tanah, menstabilkan permukaan tanah dari energi kinetis air hujan, membantu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dari serasahnya yang jatuh dan terdekomposisi, serta merangsang kehidupan organisme tanah yang berperan penting dalam siklus nutrisi.

A.       Penanaman pada lereng dengan kemiringan < 450
-  Penggaruan
Sebelum dilakukan penanaman lahan perlu disiapkan agar pertumbuhan dan kerapatan tanaman penutup tanah merata, salah satu kegiatan penyiapan lahan adalah penggaruan, kegiatan ini ditujukan untuk menggemburkan tanah, meningkatkan infiltrasi air ke tanah, mengurangi laju erosi dan mempertahankan benih dan pupuk yang akan disebar tidak hanyut terbawa air hujan.  Penggaruan dilakukan dengan excavator, traktor atau dozer dengan kedalaman sekitar 10 cm mengikuti garis kontur dan dilakukan menyeluruh pada semua areal.  Ilustrasi pekerjaan ini disajikan pada gambar berikut.

-  Pemupukan
Setelah penggaruan selesai dilakukan kemudian pupuk kompos disebarkan merata ke seluruh permukaan areal yang akan ditanam dengan dosis 2,9 kg/m2 (29 ton/Ha), setelah itu pupuk kimia disebarkan diatas pupuk kompos dengan dosis 100gr /m2.  Sebelum disebar pupuk dicampur merata dahulu dengan komposisi sebagai berikut, KCL, Superguano, Sulfomag dan Ostindo (1:1:1:1:0.5).  Pada radius 0.5 m sekeliling pohon tidak perlu ditebar pupuk, karena tidak akan ditanami tanaman penutup tanah.
-  Penebaran benih
Setelah pemupukan selesai dilakukan, maka areal tersebut siap untuk ditanami benih tanaman penutup tanah.  Sebelum disebar, benih dicampur dahulu secara merata dengan komposisi sebagai berikut
TABEL .8
KOMPOSISI BENIH COVER CROP
Nama umum
Nama latin
Komposisi (%)
Bermuda
Cynodon dactylon
30%
Centro
Centrosema pubescent
10%
Burgundy
Macroptilium bracteatum
20%
WF millet
Panicum miliaceum
40%
Wynn cassia
Chamaecrista rotundifolia

Total

100%
Kombinasi jenis-jenis tanaman penutup tanah tersebut di atas dapat menghasilkan penutupan lahan lebih dari 70% dalam waktu 6 minggu setelah tanam dalam kondisi hujan yang cukup (dalam satu minggu minimal terdapat 3 kali hari hujan), sehingga dapat menekan laju erosi dalam waktu relatif singkat.  Disamping itu Setelah dicampur kemudian benih disebarkan ke seluruh areal secara merata dengan kerapatan 50 kg/Ha.  Setelah disebar kemudian benih digaru tipis-tipis, kurang lebih 3 – 5 cm untuk memastikan benih tertanam dengan baik dan tertutup tanah tipis-tipis.

1 komentar: