Senin, 28 September 2015

OPERASI SAR GUNUNG HUTAN (PERTAMA DI REPUBLIK) - GN. PANGRANGO, SEP 1970






Sumber foto militer indonesia


SEPTEMBER KELABU 1970
BAB I - PERTEMUAN TERAKHIR
 
Hari itu, Rabu malam Kamis tanggal 9 September 1970, aku (The Kok Tjhiang alias Tony J.Kristianto alias Kay Pang) dan Go Hong Sing alias Harry Susanto (HS) – si tukang sulap - sedang berada di rumah kost Jl.Makaliwe I no.17.  Kami sudah bersama-sama berburu tempat untuk kuliah sejak dari Semarang ke Yogya terus Ke Jakarta. HS akhirnya masuk FK Trisakti dan aku sendiri masuk FTElektro Trisakti. 

Sejak awal tahun kita berdua mengontrak kamar depan yang sebenarnya adalah ruang tamu dari rumah keluarga Soeroyo – pegawai Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang berkantor di Airport Kemayoran. Ruang tamu itu disulap jadi kamar kost untuk menutup kebutuhan ke empat anaknya yang sudah mulai remaja. Jadi pintu dan jendela kamar kita itu langsung menghadap ke halaman depan dan sekitar 8 meter dari pinggir jalan.

Sekitar jam 19:00, kami berdua barusan selesai menyantap makan malam dari panci rantang langganan kami. Seperti biasanya, habis makan Bah Hong Sing sudah langsung menggelosor kembali di ranjang kayunya yang menempel di tembok sebelah dalam. Sambil disinari lampu neon empat puluh watt ia sudah sibuk kembali memegang di satu tangannya diktat hapalannya yang dilipat dua dan tangan lainnya dilipat di atas kepalanya sambil menteng kelek. Rasanya selama beberapa bulan diktat-diktat itu tidak pernah habis-habis dihafal isinya.  Ini adalah risiko yang harus dijalani kalau kuliah di Fakultas Kedokteran. Kaus singlet dan celana pendek adalah baju seragamnya HS kalau di rumah. Padahal, kalau keluar rumah dia selalu rapih – gekleid. Aku selalu ingat akan prinsipnya untuk selalu keluar dalam keadaan rapih agar bisa menghargai diri sendiri. No sandal!!! Apalagi sandal jepit seperti anak-anak sekarang!!! Tabu untuk dia.

Aku sendiri sedang duduk di atas sadel motor Honda S90 warna merah maroon milik HS yang diparkir dalam kamar, nempel ke tembok antara pintu depan dan pintu ke belakang, ketika secercah sorotan lampu menembus masuk ke dalam kamar disertai bunyi motor DKW biru masuk ke halaman depan kamar kami.  Si mBoen – demikian aku biasa memanggilnya – muncul dengan setelan khas, celana dan jaket blue jeans serta T-shirt putih. Jaman itu tidak ada keharusan pakai helm. 

Dia menyerobot masuk kamar sambil mengumbar senyumannya yang khas, lalu duduk di atas ranjangku yang menempel ke jendela depan. Kalau di Semarang dulu, dia suka meneriakkan singkatan namaku berkali-kali dari luar rumah untuk memanggil aku keluar: te..ee, te ka te...ee!!!

Setelah duduk, mulailah dia bercerita tentang rencananya mau naik ke puncak Pangrango lalu turun dari Sukabumi dengan mengikuti peta militer yang barusan didapatnya.  Menurut peta itu ada jalan dari puncak Pangrango ke Cisaat - Sukabumi. Aku dibujuk-bujuknya untuk ikut bersama dia dan Willy Buntaran.  MBoen waktu itu sudah kuliah di tingkat satu FK Yarsi di Cempaka Putih sedangkan Willy adalah mahasiswa tingkat tiga FKUI.

Aku terpaksa menolak ajakannya walaupun dia membujuk terus karena aku sedang mempersiapkan ujian kimia pada hari Kamis dua minggu lagi.  Akhirnya dia pulang dengan sedikit kecewa. Itulah kali terakhir aku bertemu dia dalam keadaan hidup. 

BAB II - PUNCAK PANGRANGO

Kira-kira sebulan sebelum pertemuan 9 September itu, aku ikut bersama mBoen naik ke puncak Pangrango. Setelah berkali-kali dibujuknya, akhirnya aku mau juga pergi bersamanya.  Tentunya sambil melanggar pesan Mami-ku agar tidak ikut-ikutan naik ke gunung. Peristiwa Soe Hok Gie membuat Mami-ku tidak rela melepaskan anaknya mengikuti olahraga atau hobby seperti itu. Waktu itu mBoen sudah berkali-kali naik gunung. Aku mengajak teman sekuliahku, Arianto Widjaja - anak dari Solo.

Kami bertiga berangkat naik bis arah ke Bandung dari Terminal Lapangan Banteng pada suatu hari Jum’at siang dan sore harinya berhenti di Cimacan - pertigaan Cibodas. Dari sini kita berjalan naik ke arah Taman Kebun Raya Cibodas. Kita sempat ngopi melepas lelah di rumah penduduk sampai menjelang mahgrib. Ketika memasuki Taman Kebun Raya Cibodas hari sudah malam dan kita mulai melakukan pendakian dengan menggendong ransel di punggung dan lampu senter dan lampu kapal di tangan.  mBoen berjalan di depan untuk membuka jalan dan setiap kali harus berhenti untuk menunggui kami berdua yang tertinggal.

Pendakian ini sungguh melelahkan dan mematahkan semangat bagi seorang pemula seperti aku dan Aryanto. Ingin rasanya kami duduk berhenti, menyudahi pendakian ini dan minta pulang saja. Tapi mBoen terus membesarkan semangat kami dengan mengatakan bahwa sebentar lagi sudah sampai, kita sudah dekat, sehabis tikungan ini kita bisa istirahat. Menjelang air terjun, kami sempat berhenti sebentar dan berusaha untuk menyalakan api, namun angin dingin yang bertiup kencang dan hawa dingin yang merasuk sampai ke tulang membuat jari-jari kami kaku sampai tidak mampu menyalakan korek api.

Akhirnya, setelah empat jam berjalan mendaki, kami berhasil mencapai tempat persinggahan Kandang Badak menjelang tengah malam. Di dalam cottage yang terbuat dari balok-balok kayu yang ada disitu sudah banyak pendaki lain yang beristirahat, tidur berjejer di depan api pendiangan untuk mengusir hawa dingin, kami berkenalan dengan Willy Buntaran yang masih berjaga.

Willy Buntaran yang kukenal untuk pertama kali dan terakhir kalinya ini adalah mahasiswa tingkat tiga FK-UI yang berprestasi tinggi. Orangnya pendiam dan sangat pintar. Namun dia tidak suka menunjukkan kepandaiannya sehingga setiap kali ujian dia sengaja membuat kesalahan atau tidak mengerjakan seluruh soalnya agar nilainya tidak terlalu mencolok tinggi. Zaman itu, orang Cina di UI termasuk barang langka dan menjadi sosok yang disentimeni sehingga memang seharusnya dia pandai-pandai membawa diri agar tidak terlalu menonjol.  Dia juga anggota Mapala UI – Mahasiswa Pecinta Alam UI – yang sudah biasa mendaki gunung sendirian. 

Pagi harinya aku masih sempat bikin Supermie di luar bersama Willy. Kita akhirnya memutuskan untuk mendaki bersama-sama ke puncak Pangrango. Rombongan kita sekarang menjadi empat orang.  Sekitar jam 1000 pagi kita tiba di alun-alun puncak Pangrango. Disana kita berfoto-foto, bergantian karena kita tidak membawa tripod. Salah satu adalah foto kita bertiga berdiri sambil saling merangkul pundak di atas batu penanda puncak Pangrango, mBoen disisi kananku, aku di tengah dan Willy di sisi kiriku.  Foto lainnya adalah aku di sisi kanan, mBoen di tengah dan Aryanto disisi  kiri.  Itulah foto-foto terakhirku bersama mBoen. Salah satu foto itu ternyata muncul di koran Kompas beberapa minggu kemudian.

BAB III - HILANG

Rabu malam, 16 September 1970, seminggu kemudian setelah mBoen meninggalkan tempat kost kami, kira-kira pada jam yang sama, sorotan lampu disertai bunyi deruman scooter Vespa yang khas, masuk ke halaman depan kamar kost kami dan diparkir di tempat yang sama dimana mBoen memarkir DKW-nya.

Waktu itu aku sedang serius belajar ilmu kimia yang akan diuji pada hari Kamis 24 September minggu depan, aku menengok keluar dan muncul wajah yang kukenal baik, koh Tony – sepupunya mBoen dari Bandung yang sedang co-ass di FKUI. Dia nampak agak terkejut ketika melihat wajahku nongol di jendela kamar.

“Lho, Tjhiangkie, kamu nddak ikut mBoen ke gunung?” tanyanya. Aku menjawab: “Nggak…tuh, emangnya kenapa, koh?” Kelihatan wajahnya sedikit mencelos mendengar jawabanku. Lalu dia berkata pendek: “MBoen belum pulang!”

Lalu aku bercerita kalau mBoen memang datang ke tempat kost-ku seminggu yang lalu dan mengajak aku untuk ikut naik gunung bersamanya dan Willy.  Mereka mau mencoba untuk turun dari Pangrango melalui Sukabumi berdasarkan petunjuk peta militer yang barusan didapatnya. Dia membujuk-bujuk agar aku mau ikutan, tapi aku menolak karena aku sedang sibuk mempersiapkan diri untuk ujian kimia.

Belakangan baru aku tahu bahwa setelah gagal mengajak aku, mBoen berhasil mengajak enam orang kawannya di Yarsi untuk ikut bersamanya. Namun, karena mereka berenam belum berpengalaman, maka ke enamnya disuruh turun sendiri melalui rute jalan yang ditempuh ketika  mendaki, yaitu melalui Kebun Raya Cibodas. Rute yang dianggap jalan raya untuk pada pendaki yang berpengalaman. Mereka berdua memisahkan diri untuk meneruskan petualangannya, mengikuti peta militer tua yang dipercayainya.

Setelah mendengar penjelasanku, maka koh Tony pulang dan mulai meminta bantuan kepada teman-temannya di Mapala UI untuk mencarinya. Berita hilangnya mBoen dan Willy segera tersiar melalui radio dua meteran ke segala penjuru.  Waktu itu mBoen sudah cukup dikenal di udara (callsign-nya aku lupa!), sehingga dalam waktu singkat mobilisasi tim pencari segera dilakukan.

BAB IV - SEARCH AND RESCUE

Hari Kamis, 17 September 1970, mBoen dan Willy dinyatakan hilang di gunung. Sorenya para pendaki yang tergabung dalam berbagai organisasi pecinta alam mulai berhamburan ke gunung untuk mencari mereka berdua.

Tokoh-tokoh pendaki, seperti Herman Lantang, Aristides Katoppo, dll.. ikut terjun memimpin mereka. Mereka sebagian menyisir dari puncak Pangrango menuju ke arah Gunung Putri dan Gunung Masigit yang terletak di antara Pangrango dan Sukabumi. Rombongan yang besar menyisir dari arah Cisaat – Sukabumi. Pos Komando (Posko) didirikan  di satu bungalow di Cisaat.

Ketenaran mBoen di udara membuat pak Hoegeng - Kapolri, yang ketika itu Ketua dari ORARI, mengerahkan satu kompi Mobrig (Mobil Brigade, sekarang Brimob) untuk ikut melakukan operasi SAR. Selain itu juga Detasemen Patroli Jalan Raya yang bermarkas di Jl.Gatot Subroto – Pangadegan dikerahkan untuk membantu transportasi dan komunikasi. 

Setelah koh Tony pulang, aku pun ikut menjadi gundah. Sesuatu telah terjadi di luar rencananya mBoen. Makanya aku berunding dengan Hong Sing (HS). Kalau ndak salah kemudian muncul ide untuk menanyakan kondisi mereka berdua melalui paranormal.  Nah, dari ide itu muncul nama pak Handoyo yang ada di Krukut yang diperkenalkan oleh saudaranya HS. Kami berdua pergi menghadap beliau hari Sabtu. Beliau mengatakan bahwa kelihatannya Willy sudah tidak ada, mBoen masih ada karena dia shio macan, tapi dia sekarang berada dalam cengkeraman penunggu Gunung Masigit karena berbuat kurang sopan, dia kencing sembarangan tanpa kulonuwun.

Berita ini kami sampaikan ke Posko untuk menyemangati tim SAR.  Maminya mBoen – tante Wie Tiong – sudah datang dari Semarang dan kemudian naik ke Posko Cisaat agar dapat mengikuti perkembangan terakhir dari upaya SAR ini, sekalian membantu mengurus dapur umum bagi para anggota tim. Masyarakat di sekitar daerah itupun mulai dilibatkan dalam operasi ini.

Rumah Engku Tjwan Poo di. Gg. Sadang dijadikan Posko keluarga. Hari Senin siang kami menerima berita bahwa ransel yang berisi perlengkapannya mBoen diketemukan di pinggir jurang yang cukup curam, termasuk arloji otomatisnya yang sudah mati. Aku tidak yakin apakah arloji itu ada tanggalannya. Namun dengan memperkirakan bahwa arloji otomatis itu akan mati sendiri dalam waktu sekitar 48 jam kalau tidak digerak-gerakkan, maka ada kemungkinan bahwa ransel tersebut sudah tergeletak disitu sejak hari Kamis minggu sebelumnya.

Maka pencarian pun mulai diarahkan ke sekitar wilayah tersebut. Jejak-jejak yang ditinggalkan mBoen mulai dilacak dan ternyata mengarah menuruni tebing dengan kecuraman lebih dari 60 derajat. Namun pencarian sampai hari Selasa masih tidak membawa hasil.

Hari Rabu kami berdua, HS dan aku, ditambah Freddy (aku agak lupa), pergi lagi ke rumah Oom Handoyo. Sesuai dengan ceritanya Freddy, oleh si Oom itu kami disuruh mencari dan minta bantuan dari ”orangtua” yang menjadi juru kunci - ’kuncen’  Gunung Masigit itu.  Setelah kembali ke Gg.Sadang, kami mendapat berita bahwa siang tadi sesosok mayat telah diketemukan oleh seorang pemburu. Satu regu tim penyelamat dari Wanadri telah ada disana, tapi mereka tidak dapat mengenali korban karena mereka tidak kenal dengan mBoen maupun Willy.

Maka diusulkan agar dapat dikirim seseorang yang kenal dengan mereka berdua untuk mengindentifikasi mayat tersebut. Tentu saja pilihannya hanya aku. Karena itu, malam itu juga aku harus berangkat ke sana dan ikut dengan tim evakuasi yang akan menjemput mayat tadi. Kami minta bantuan PJR untuk mengantarkan kami menjalankan misi itu. Maka, sekitar jam 22:00, kami bertiga: Tjiek Swan, Freddy dan aku, bersama dua anggota PJR berangkat naik Volvo 144 warna putih yang menjadi mobil patroli polisi yang populer. Kami bertiga duduk di bangku belakang, sedangkan kedua anggota duduk di depan.  Baru kali ini kami bertiga duduk di dalam mobil PJR, untungnya bukan sebagai pesakitan.

Kami menyusuri jalan Kramat, Salemba, Matraman, Jatinegara, Cawang, Cililitan dan masuk ke jalan Raya Jakarta – Cibinong - Bogor. Waktu itu jalan tol Jagorawi belum ada, mungkin dipikir saja juga belum. Setelah melewati Nanggewer, menjelang stasiun pompa bensin Cibuluh, mobil PJR ini mogok. Ternyata bensinnya habis. Jadilah kita bertiga turun dan mendorong mobil itu menyusuri jalan yang agak menanjak sekitar 500 meter. Si supir dan Tjiek Swan tetap berada di dalam mobil. Jaman segitu, jalan itu sudah sepi sekali. Untungnya stasiun pompa bensin itu buka, sehingga kita bisa mengisi bensin dan melanjutkan perjalanan kembali.

Setelah melewati kota Bogor (tempat tinggalku sekarang) kami masuk wilayah Sukabumi. Di wilayah kebun karet desa Parungkuda Radio Mobil PJR itu tidak dapat menangkap sinyal. Jadi kita berjalan dalam keadaan radio silence. Akhirnya kami tiba di Cisaat sekitar tengah malam. Maminya mBoen masih melek dan kita disuguhi supermi panas.

BAB V - EVAKUASI

Setelah sempat tidur sebentar, paginya aku bersama rombongan tim penyelamat berangkat untuk melakukan evakuasi. Kami mendaki Gunung Masigit sekitar dua jam tanpa berhenti, berjalan di punggung gunung dengan tebing yang sangat curam dengan kemiringan lebih dari enam puluh derajat di sebelah kanan kami. Sampai di suatu tebing yang tidak terlalu curam dan agak dekat dengan dasar lembah, kami mulai menuruninya dengan bergelayutan seperti Tarzan di pepohonan, akar-akar dan rotan yang memenuhi tebing tersebut.

Setelah proses penurunan yang berat ini, kami sampai di suatu sungai kecil yang berair bening dan dingin sekali, suhunya sekitar delapan derajat Celcius. Sungai ini cukup dangkal, kedalamannya tidak lebih dari satu meter dengan lebar yang bervariasi, antara satu sampai tiga meter.  Kami berjalan di dalam sungai ini menuju ke arah hulu. Tanganku terasa beku dan kulitnya berkeriput. Arlojiku sudah tidak dapat dibaca lagi karena kacanya berembun.

Setelah berjalan bersusah payah, sambil menyibak air sungai yang dingin itu, sekitar hampir satu jam kami tiba di suatu kolam dengan air terjun yang tingginya sekitar tiga puluh meter mencurahkan air kesitu.

Kami bertemu dengan regu penyelamat yang pertama kali mencapai lokasi tersebut kemarin dan menemukan jenazah berjaket kuning yang sudah dibaringkan. Aku pun mendekat dan melihat wajahnya yang sudah memutih dan luka di samping kiri kepalanya yang sedikit terbuka, ditambah belatung segar yang menggeliat-geliat di dalam dan sekitar lukanya.  Tak syak lagi ini adalah jenazah Willy, teman yang kukenal untuk pertama dan terakhir kalinya di puncak Pangrango beberapa minggu sebelumnya. Untuk memastikannya, aku lalu menyibakkan baju dan celananya. Mboen memiliki bekas operasi usus buntu yang cukup besar, panjangnya sekitar tujuh centimeter. Tapi, di perut jenazah itu  aku tidak menemukannya. Maka yakinlah aku kalau ini adalah jenazah Willy. Harapanku bangkit kembali, bahwa ada kemungkinan mBoen masih selamat.

Sementara jenazah sedang dibungkus plastik dan dipersiapkan untuk di angkat dengan tandu yang terdiri dari dua batang bambu dan tali-tali, aku memperhatikan ke sekelilingnya. Di tebing di sisi air terjun itu, kira-kira berjarak tiga meter dari sisi air terjun, aku melihat bekas tanah dan lumut yang terkelupas membentuk alur yang tegak lurus dari atas ke bawah. Aku berkesimpulan bahwa itu adalah bekas barutan dari tubuh Willy yang jatuh dari atas, menyusuri tebing itu dan akhirnya sampai ke tanah. Ada kemungkinan kepalanya sudah terbentur sebelum tubuhnya sampai ke tanah. Di bagian atas tebing itu tidak diketemukan tali atau apapun yang menunjukkan adanya usaha untuk turun dengan bantuan tali.  Tampaknya mereka sudah tidak mempunyai tali lagi karena belakangan diketemukan talinya tergantung di tebing air terjun yang lebih atas dari air terjun dimana Willy diketemukan.

Tampaknya  mereka berdua sudah merasa tersesat sehingga akhirnya mengambil keputusan untuk mengikuti alur sungai yang ada di peta itu, yang memang alurnya akan melewati Sukabumi. Namun mereka tidak memperkirakan bahwa di alur sungai itu ada jeram dan air terjun yang harus dilewati.  Mereka berhasil melalui air terjun yang pertama, lalu yang kedua dengan selamat.

Pada air terjun yang ke tiga, seperti biasanya Willy sebagai pendaki yang senior mengambil inisiatif untuk melakukan penurunan yang pertama dengan mengandalkan rumput dan semak yang menutupi tebing itu. Tali sudah tidak dimilikinya lagi karena sudah dipakai untuk menuruni air terjun sebelumnya. Sayangnya dia tidak berhasil turun melewati air terjun ke tiga dengan cara seperti seorang pemanjat tebing.  Apalagi jalur penurunannya mengambil posisi di samping air terjun yang cukup licin, berlumut dan tidak memiliki akar-akar rerumputan yang dalam dan kuat. Akhirnya, dia terjatuh dari ketinggian sekitar dua puluh meter.

Mboen tentu saja terkejut dan tidak membiarkan temannya sendirian tergeletak di bawah sana. Ada kemungkinan bahwa Willy masih hidup sesudah jatuh itu. Sepertinya, mBoen tidak mau mengambil risiko menuruni jalan yang sama dengan Willy. Ia lalu berjalan mengitari punggung gunung lalu berhenti di tempat di mana ransel dan jaketnya kemudian diketemukan.  Sepertinya dia tergesa-gesa dan tidak mau disulitkan dengan barang bawaannya, maka ditinggalkannya ransel dan jaket itu disana. Dari sini dia menuruni tebing, masuk ke sungai dan berjalan menghulu seperti kita mencapai tempat Willy berada.

Sepertinya mereka masih sempat berkomunikasi dan akhirnya Willy dipindahkan ke tepi kolam dan didudukkan bersandar pada batu yang ada di pinggir kolam tadi. Dalam posisi duduk, dengan kaki terendam di air sampai hampir sebatas lutut, seperti itulah Willy ditemukan.

Tubuhnya, yang tidak terendam air yang dingin, terkena panas matahari sehingga cepat mengalami pembusukan.  Aku tidak tahu apakah jenazah itu kemudian diotopsi di rumah sakit untuk menentukan waktu dan penyebab kematiannya.  Namun, aku perkirakan Willy sudah meninggal pada suatu siang hari kurang lebih seminggu yang lalu. Jadi, apa yang dikatakan oleh pak Handoyo pada hari Sabtu sebelumnya bahwa Willy sudah tidak ada, mungkin sekali benar.

Setelah jenazah Willy selesai dibungkus dan diikat, maka perjalanan berat untuk kembali ke Posko dimulai.  Terutama ketika kami semua harus mendaki tebing, kembali seperti Tarzan, dengan membawa jenazah. Syukurlah, tebing itu bisa dilalui. Dari atas tebing sini kami baru bisa mengabarkan ke Posko tentang hasil indentifikasiku. Selama di lembah tadi, walkie talkie tidak dapat berfungsi.  Akhirnya kami semua tiba dengan selamat menjelang maghrib di Posko.  Tentu saja kami disambut dengan isak tangis dari teman-teman dan keluarga Willy yang sudah menunggu disana. Malam itu juga jenazah Willy di bawa dengan ambulance ke Jakarta.

Di saat teman-temanku sedang bergulat mengerjakan ujian ilmu kimia, aku sendiri sedang berjalan gontai dengan sedih dan gundah menuruni jalan setapak yang terjal dengan membawa jenazah Willy ke Posko.  Namun, kau masih menaruh harapan bahwa mBoen masih hidup karena kita tidak menemukan tanda-tanda kematiannya.

BAB VI - PERCAYAKAH?

Setelah pulang ke Jakarta, aku ikut sibuk dengan urusan pemakaman Willy serta memberikan berbagai keterangan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari keluarga dan kawan-kawannya.

Jenazah Willy dibawa ke RSCM lalu disemayamkan di rumahnya di Jl. Cikini Raya, dekat pasar Cikini. Pada hari Minggu 27 September 1970, enam belas hari setelah keberangkatannya sendiri dalam keadaan hidup, Willy diberangkatkan untuk dimakamkan (kremasi?).  Aku sendiri tidak ingat lagi apakah aku ikut mengantarkan sampai ke tempat pemakaman atau krematorium.

Jenazahnya sempat dibawa mampir ke UI untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari Civitas Academica UI. Waktu itu perisitiwa ini dianggap cukup menghebohkan dan dramatis setelah peristiwa meninggalnya Soe Hok Gie di Gunung Semeru – Jawa Timur. Kalau semuanya terjadi sekarang, mungkin perhatian yang diberikan tidak akan sebesar itu karena kecelakaan di gunung hampir terjadi setiap tahun. .

Sementara itu pencarian terhadap mBoen masih terus dilakukan.  Aku naik lagi ke Posko di Cisaat, namun aku tidak ikut bersama tim pencari lainnya. Aku hanya berjaga di Posko sambil berusaha menguatkan keluarga mBoen yang ada di sana.

Waktu itu sudah diputuskan bahwa batas akhir operasi pencarian ini adalah hari Rabu, 30 September 1970.  Waktu operasi pencarian yang sudah mencapai dua minggu dianggap sudah mencukupi. Apabila tidak juga diketemukan, maka mBoen akan dinyatakan hilang. Apabila masih ada yang mau mencarinya, dipersilahkan, tapi tentu saja upaya sendiri.

Nah, pada tanggal 30 September 1970 pagi hari, satu tim pencari yang sudah berkemah selama beberapa hari di kolam air terjun yang ke lima sudah berkemas untuk melakukan pencarian hari terakhir. Karena sudah demikian santernya kabar tentang adanya kekuatan mistik di wilayah itu, maka si pemimpin tim mengajak seluruh anggotanya untuk berdoa dengan cara masing-masing terlebih dahulu sebelum mereka berangkat dari situ.
Mereka kemudian berdiri berjejer menghadap ke arah kolam dan si pemimpin berdiri membelakangi kolam.  Di kala mereka berdoa itu, sesuatu muncul dari dalam kolam. Hal mana dilihat oleh salah seorang anggota tim, sehingga mereka semua menghentikan doanya. Namun, ketika semua menengok ke arah kolam, disana tidak ditemukan apa-apa. Maka mereka melanjutkan doanya, ketika itulah sesosok tubuh kembali mengambang di permukaan kolam.

Pemimpin tim memutuskan agar sebagian anggotanya tetap berdoa dan salah seorang diutus untuk berenang ke arah sosok tersebut dengan membawa tali. Setelah sosok tersebut berhasil diraihnya, maka dia ditarik ke tepi beramai-ramai. Disitulah mereka menemukan jenazah yang masih dalam keadaan utuh dengan sedikit luka di dahinya.  Jenazah itu dipastikan adalah mBoen karena mereka sekarang sudah dibekali ciri-cirinya, a.l. bekas luka operasi usus buntu di perut kanannya.

Sungguh mengharukan dan menakjubkan bahwa di hari terakhir pencarian jenazah mBoen bisa diketemukan, padahal selama beberapa hari mereka sudah berkemah di tepi kolam itu dan mandi, minum dan masak dengan menggunakan air dari kolam itu juga.

Kemungkinan besar mBoen merasa panik dan bingung setelah menemukan Willy meninggal dunia.  Maka setelah mendudukkan Willy bersandar di batu dengan kaki-kakinya terendam di dalam kolam air terjun yang ke-tiga, ia melanjutkan perjalanan menyusuri sungai kecil itu. Rupanya ia masih berhasil melewati air terjun yang ke empat. Tapi naasnya tiba di air terjun yang ke lima, dimana akhirnya dia jatuh, terbentur kepalanya, dan mati sebelum tenggelam ke air yang dingin itu. Ada kemungkinan bahwa mayatnya kemudian tersangkut di batu di  dasar kolam dan di awetkan oleh air yang dingin itu. Makanya mayatnya masih utuh dan tidak ditemukan banyak air di dalam paru-parunya.

Belakangan diketahui bahwa sungai yang mengalir ke arah Sukabumi tersebut memiliki tujuh air terjun. Willy hanya berhasil melewati tiga dan mBoen berhasil melewati lima. Masih ada dua air terjun lagi yang harus ditaklukkan sebelum mereka bisa mencapai kota Sukabumi.

Ironisnya, jalan setapak yang ditunjukkan oleh peta itu memang ada.  Namun, karena peta tua dan jalan setapak itu tidak pernah lagi dilewati orang, maka sampai pada suatu titik jalan tersebut ternyata sudah ditutupi dengan semak belukar. Padahal semak belukar itu tebalnya hanya sekitar tiga meter saja. Kalau saja Willy dan mBoen memutuskan untuk menerabas semak belukar itu, mereka akan menemukan kembali sambungan jalan setapak yang ada di peta tersebut.  Tapi, sepertinya mereka mengambil jalur lain, yaitu mengikuti aliran sungai. Dan, begitulah takdir mengarahkan mereka berdua untuk perlaya di gunung itu.

BAB VII - SELESAILAH SUDAH

Berita penemuan jenazah mBoen itu dikomunasikan ke Posko dan pagi hari itu juga tim evakuasi segera berangkat menjemput. Aku tidak ikut bersama mereka lagi karena tidak lagi perlu melakukan indentifikasi. Sore harinya jenazah mBoen tiba di Posko dan langsung dibawa dengan ambulance ke RSTM.

Mungkin Tjie Swan betul, bahwa aku ikut bersama dia sampai ke sana. Bagian ini aku sudah lupa walaupun sudah berusaha mengingat-ngingatnya. Kalau tidak salah, jenazah mBoen juga dsemayamkan sebentar di kampus Yarsi di Cempaka Putih.  Hal mana pada saat itu tentu cukup menghebohkan karena ada dua orang China mendapatkan penghormatan sampai seperti itu karena rasa sentimen anti China masih kuat sekali.  Aku masih ingat bagaimana kita berusaha menyamarkan penampilan kita agar tidak kelihatan terlalu China.

Dari sana mBoen dimakamkan di Tempat Pemakaman Jati Petamburan.  Yang aku masih ingat jelas adalah Noniek – adik kesayangannya mBoen - menyender di pundakku sambil menangis ketika peti jenazahnya dimasukkan ke liang kubur.  Selesailah sudah.....!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar